Bandara-bandara internasional di negeri ini setiap hari selalu kebanjiran para calon penumpang yang akan berangkat umroh ke tanah suci. Ketika kuota haji membuat banyak orang musti menunggu puluhan tahun agar dapat berziarah ke Makkah dan madinah, berangkat umrah menjadi alternatif pilihan bagi muslimin-muslimat yang berkecukupan rejeki.
Sebenarnya, umrah menurut mazhab Syafi’iyah hanya wajib satu kali seumur hidup. Namun bagi banyak orang, pergi umrah berkali-kali dalam satu tahun seperti dijadikan sebagai sebuah gaya hidup. Saya dapat memahami, karena ziarah ke tanah Haramain sungguh memancarkan daya magisnya yang luar biasa.
Ka’bah dengan keagungannya. Multazam dengan kemustajabannya . Zamzam dengan kesegaran dan kemujarabannya. Raudhah dengan taman-taman surganya. Hujrah dan makam Nabi dengan kemuliyaannya.
Dengan segala kekuatan itu, mata seperti tidak mau berhenti untuk melihatnya. Telinga tidak mau berhenti untuk mendengarnya. Tangan dan tubuh tidak pula ingin berhenti untuk menyentuh dan merasakan suasana magisnya.
“ Ya Tuhan Kami, karuniakan lah kepada kami ziarah kesana, tidak hanya sekali, berulang-ulang kali. Marrotan ba’da marroh. Wakarrotan ba’da karroh …” Itu do’a – do’a mereka.
Namun ternyata, kerinduan-kerindua ke tanah suci itu jika tidak berhati-hati menyikapi malahan akan menjadi ‘syahwat’ nafsu belaka. Menjadi semacam ‘ego’, ananiyyah (ke-akua-an) seorang anak manusia.
Dia sebenarnya harus merasa cukup dengan satu kali menjalankan umrahnya sebagai bagihan fardhu ‘ainnya. Jika masih ada kelebihan harta, maka ada banyak hak-hak yang lebih layak di salurkan kesana dibanding di gunakan untuk menuruti ego serta syhwat pribadinya itu.
Lantas mengutamakan mana antara sedekah atau umrah?
Hak-hak si fakir dan si miskin di kanan kiri rumahnya, apakah mereka dalam keadaan kenyang ataukah dalam perut yang kelaparan ?
Hak-hak tetangga yang sakit, apakah sudah tersedia atau dibawa ke dokter untuk diperiksakan?
Hak-hak pendidikan agama kaum di lingkungannya, apakah lembaga-lembaga pendidikan agama di sana sudah cukup ataukah masih membutuhkan sumbangan dana dan perhatian ?
Jika tidak salah adas satu kejadian, seorang yang telah mengumpulkan biaya pergi haji, namun di tengah perjalanan ia jumpai seorang fakir yang membutuhkan bantuan. Lalu uang yang sedianya ia pakai untuk biaya haji tersebut, ia sedekahkan kepada si fakir yang mengakibatkan dirinya batal menunaikannya.
Tetapi kemudian, perbuatannya yang penuh empati itu mendapat ganjaran setimpal . Terdengar sebuah Hatif, suara malaikat : “Ketahuilah , sesungguhnya Allah telah menulismu menjadi seorang haji yang mabrur karena sedekahmu”
Sungguh indah membayangkan, jika orang-orang kaya nan berada di negeri ini mempunyai semangat yang sama seperti orang itu, yakni didalam ‘menahan’ ego dirinya, dan lebih mecurahkan rasa kasih serta empatinya terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial dan kekurangan-kekurangan saudara-saudara muslim di sekitarnya.
Sesungguhnya tersebutlah di dalam satu Hadits atau Atsar : “ Satu suapan kepada seorang yang lapar perutnya, lebih mulia dibandingkan beribadah satu tahun penuh dengan ketaatan serta lebih mulia dibanding membangun seribu masjid jami’ “
Jika 2000 dolar Amerika, sebagai biaya satu kali paket umrah, maka dengan uang sebanyak itu akan menghasilkan jutaan kali suapan kepada perut-perut yang sedang kelaparan. Tinggal kalikan saja berapa lipat bandingan pahalanya . Wallahu a’lamm.
__________________
Ust. Muhajir Madad Salim, Muthih Wedung Demak.