![]() |
Ahmad Baso Penulis Buku Islam Nusantara |
Penulis: Nur khalik Ridwan
Seri Pesantren Studies (yang meski belum selesai seluruhnya dari sekitar 12 jilid yang direncanakan), di antara beberapa karyanya itu, merupakan karya penting dari seorang Nahdliyin tentang dunia pesantren.
Ahmad Baso lahir di Makassar pada 14 November 1971, dari orang tua santri yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Muhammad Baso, wafat tatkala Ahmad Baso menyelesaikan salah satu buku Seri Pesantren Studies, pada 5 September 2011.
Ahmad Baso kecil menempuh pendidikan di Makassar, tingkat dasar (1978-1983), dan tingkat menengah di SMP (1984-1986), sambil nyantri di Pesantren An-Nahdlah Makassar (1985-1990), dan menempuh pendidikan Madrasah Aliyah (1987-1989). Ketika nyantri di Pesantren An-Nahdlah, Ahmad Baso berguru kepada AG KH. Ahmad Haristah AR dan kepada AG, KH. Muhammad Nur.
Pesantren An-Nahdlah didirikan AG. KH. Muhammad Haristah pada 20 September 1982, berlokasi di Tallo, Makassar.
Majlis Ta’lim Asysyafiiyah kemudian diubah menjadi An-Nahdhah pada 4 Januari 1985 atas restu Al-Allamah Nashirus Sunnah, AG KH. Muhamamd Nur.
Sebagaimana disebutkan dalam makassar.tribunnews.com. (20 Sptember 2017), santri pertama pesantren ini, di antaranya adalah Dr. KH. Afifuddin Haritsah (yang kini menjadi pimpinan Pesantren setelah wafatnya sang pendiri); dan Ahmad Baso disebut “alumnus angkatan pertama An-Nahdlah”. Selain itu, dari pesantren ini juga ada alumnus lain yang dikenal, yaitu ustadz kondang yang dikenal lewat tayangan televisi nasional bernama Ustadz Nur Maulana, yang dikenal dengan kata-katanya: “Jamaah ooh jamaah”.
Ketika di Pesantren An-Nahdhah, Ahmad Baso, ngaji kitab-kitab penting kepada Sang guru, seperti Riyadush Shalihin, Fathul Qarib, Tanwirul Qulub, Tafsir al-Jalalain, Syarah Hikam, at-Tibyan fi Ulumil Quran karya Ash-Shabuni, al-Ajrumiyah, dan beberapa kitab Nahwu Sharaf.
Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Makassar, Ahmad Baso meneruskan pendidikan di perguruan tinggi Arab Saudi cabang Indonesia, yang bernama LIPIA, mulai tahun 1990, di Fakultas Syariah.
Ketika masih maraknya dunia NGO di kalangan anak muda NU yang bergerak di kalangan masyarakat, Ahmad Baso sempat terlibat bergiat dalam Desantara, bersama Kyai Bisri Effendi dan sahabat-sahabat yang lain di Jakarta, sebelum akhirnya lebih memilih otodidak.
Ketika masih bergiat dalam kajian dan riset-riset kebudayaan, pesantren dan kyai, Ahmad Baso sempat menulis buku, untuk mengcounter wacana masyarakat madani yang banyak dikemukakan intelektual kelas menengah Modernis (?), sehingga menghasilkan buku yang berjudul Civil Society versus Masyarakat Madani (1999), kemudian lahir pula buku berjudul Plesetan Lokalitas: Politik Priibumisasi Islam (2002).
Ahmad Baso kemudian memang benar-benar memilih otodidak, daripada meneruskan pendidikan ke jenjang akademik di perguruan tinggi. Beberapa bukunya yang lain kemudian lahir, yaitu Islam Pascacolonial (2005) dan NU Studies (2006).
Otodidaknya terus berjalan dan karya-karyanya terus lahir, dan yang monumental adalah Pesantren Studies, yang direncanakan akan ditulis dalam berbagai jilid, mungkin sebagaimana sering ditulis dalam penjelasan penulisnya di berbagai bukunya, dalam 9 jilid, dan kadang disebut 12 jilid, dan kadang disebut 14 jilid.
Selain kiprahnya di kalangan anak muda NU, Ahmad Baso juga dekat dengan KH. Hasyim Muzadi, tetapi dia sendiri juga ikut terlibat bersama besar rekan-rekan mereka di kalangan muda Nahdliyin, dalam forum Mubes Warga NU, untuk mengkritisi kepemimpinan NU yang ketika itu di bawah ketua umum KH. Hasyim Muzadi; dan juga pernah dekat dengan KH. Ma’ruf Amien; dan juga kiai-kiai lain di lingkungan NU.
Dalam diskusi-diskusi di kalangan anak muda NU, Ahmad Baso, merupakan jurubicara dalam berbgaai pandangan, dan melakukan oposisi terhadap gagasan-gagasan Islam Liberal yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla, meskipun secara pribadi tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.
Dari sejumlah karyanya, Ahmad Baso mengajak rekan-rekan muda Nahdliyin untuk menjadi fa`il dalam menulis pesantren dan Islam Nusantara; dan membangun pijakan-pijakan kultural melalui kesadaran. Ahmad Baso menekankan begini:
“Bahasa, kata orang, membawa ideologinya sendiri. Demikian juga transliterasi, ejaan dan bahasa penulisan, yang baik dan benar, juga membawa ideologinya masing-masing.
Oleh karena itu Ahmad Baso mengingatkan:
“Maka salah satu kunci untuk memahami dunia jaringan dan intelektualitas ini (dunia pesantren dan kyai pesantren) adalah pertama-tama memasuki dunia heteroglosia (berbahasa jamak bahasa) orang-orang pesantren” (Pesantren Studies 2b: 9).
Dalam karya-karya yang cukup tebal-tebal itu, Ahmad Baso menyajikan banyak informasi dan data-data, tetapi sekaligus juga cukup berat untuk dibaca, karena term-term yang dikemukakannya, masih banyak yang harus dibukakan di kamus-kamus.
Dalam menekuni otodidak itu, ada banyak orang yang berjasa terhadap Ahmad Baso, dan di antara yang diakui sendiri olehnya adalah, gurunya sendiri, KH. Haritsah AS dan KH. Muhamamd Nur, lalu Habib Abu Bakar al-Attahsy, KH. Muchit Muzadi, KH. Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amien, KH. Said Aqil Siradj, KH. Muhyiddin Jember, Ustadz Rasyidi Syahid, Gus Ali Masyhuri Sidoarjo, Abdul Munim DZ, dan Enceng Shobirin.
Karena kepakarannya di bidang kajian dan riset-riset pesantren, Islam Nusantara dan kyai, dari sudut dan cara pandang pesantren, Ahmad Basos akhirnya diminta membantu sebagai pengajar di Program Pascasarjana “Kajian Pesantren” INSTIKA an-Nuqayah, Guluk-guluk, Madura.
Dalam melakoni otodidak, sesuatu yang sangat tidak gampang itu, Ahmad Baso didampingi sang istrti bernama Siti Nurlaelah. Dan, wirid yang dilakoninya, adalah memperbanyak ta’lim, membaca, dan bertafakkur.
Semoga panjang umur, sehat dan berkah selalu.